Minggu, 27 Juni 2010

RIYA DAN BAHAYANYA

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ z قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ : إِنَّ اَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَعَهَا, قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيْكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ ِلأَنْ يُقَالَ جَرِيْءٌ, فَقَدْ قِيْلَ ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى اُلْقِيَ فيِ النَّارِ, وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأََ اْلقُرْآنَ فَأُُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَعَهَا, قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيْكَ اْلقُرْآنَ, قَالَ:كَذَبْتَ, وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ وَقَرَأْتَ اْلقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِىءٌٌ ، فَقَدْ قِيْلَ ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى اُلْقِيَ فيِ النَّارِ, وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ وَاَعْطَاهُ مِنْ اَصْْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا, قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: مَاتَرَكْتُ مِنْ سَبِيْلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيْهَا إِلاَّ أَنْفَقْتُ فِيْهَا لَكَ, قَالَ: كَذَبْتَ ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ فَقَدْ قِيْلَ, ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ. رواه مسلم (1905) وغيره

Dari Abi Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya : 'Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?' Ia menjawab : 'Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.' Allah berfirman : 'Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca al Qur`an. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya: 'Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?' Ia menjawab: 'Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta aku membaca al Qur`an hanyalah karena engkau.' Allah berkata : 'Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang ‘alim (yang berilmu) dan engkau membaca al Qur`an supaya dikatakan (sebagai) seorang qari' (pembaca al Qur`an yang baik). Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya (mengakuinya). Allah bertanya : 'Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?' Dia menjawab : 'Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.' Allah berfirman : 'Engkau dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.’”

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh :
1. Muslim, Kitabul Imarah, bab Man Qaatala lir Riya' was Sum'ah Istahaqqannar (VI/47) atau (III/1513-1514 no. 1905).
2. An Nasa-i, Kitabul Jihad bab Man Qaatala liyuqala : Fulan Jari', Sunan Nasa-i (VI/23-24), Ahmad dalam Musnad-nya (II/322) dan Baihaqi (IX/168).

Hadits ini dishahihkan oleh al Hakim dan disetujui oleh adz Dzahabi (I/418-419), Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam tahqiq Musnad Imam Ahmad, no. 8260 dan Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani dalam Shahih at Targhib wat Tarhib (I/114 no. 22) serta dalam Shahih An Nasa-i (II/658 no. 2940).

Hadits yang semakna dengan ini diriwayatkan oleh Imam at Tirmidzi dalam Sunan-nya, Kitab Az Zuhud, bab Ma Ja'a fir Riya' was Sum'ah , no. 2382; Tuhfatul Ahwadzi (VII/54 no. 2489); Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya, no. 2482 dan Ibnu Hibban no. 2502 -Mawariduzh Zham'an- dan al Hakim (I/418-419).

Para perawi hadits ini tsiqah (terpercaya), kecuali Al Walid bin Abil Walid Abu Utsman. Dikatakan oleh al Hafizh, bahwa dia layyinul hadits (lemah haditsnya) dalam Taqribut Tahdzib 2/290 tahqiq Musthafa Abdul Qadir 'Atha'. Perkataan ini keliru, karena Al Walid bin Abdil Walid termasuk perawi Imam Muslim dan dikatakan tsiqah oleh Abu Zur'ah Ar Razi. (Lihat Al Jarhu wat Ta'dil oleh Abu Hatim Ar Razi, juz IX hlm. 19-20).

At Tirmidzi berkata mengenai hadits ini : “Hasan gharib”. Sedangkan Imam al Hakim berkata : “Shahihul isnad” dan disetujui oleh Imam adz Dzahabi dalam Mustadrak al Hakim (I/419). Lihat ta'liq Shahih Ibnu Khuzaimah (IV/115).

Tatkala Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu mendengar hadits ini, beliau berkata: “Hukuman ini telah berlaku atas mereka, bagaimana dengan orang-orang yang akan datang?” Kemudian beliau menangis terisak-isak hingga pingsan. Setelah siuman, beliau mengusap mukanya seraya berkata : Benarlah Allah dan RasulNya, Allah berfirman :

"Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka. Lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan". [Hud : 15-16]. [HR Tirmidzi no. 2382 dan Ibnu Khuzaimah no. 2482].

PENJELASAN HADITS
Nilai amal di sisi Allah diukur dengan ikhlas karena Allah dan sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah n , bukan dengan banyak dan besarnya. Allah berfirman :

"Katakanlah : Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Rabb kamu itu adalah Allah yang Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan jangan mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabb-nya". [al Kahfi : 110].

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Inilah dua landasan amal yang diterima, ikhlas karena Allah dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam”.[1]

Hadits di atas menjelaskan tentang tiga golongan manusia yang dimasukkan ke dalam neraka dan tidak mendapat penolong selain Allah l . Mereka membawa amal yang besar, tetapi mereka melakukannya karena riya', ingin mendapatkan pujian dan sanjungan. Pelaku riya' , pada hari yang dibuka dan disibak semua hati, wajahnya diseret secara tertelungkup sampai masuk ke dalam neraka. Nas-alullaha as-Salaamah wal ‘Afiyah. Tiga golongan tersebut ialah:

Golongan Pertama : Yaitu kaum yang dianugerahi Allah kesehatan dan kekuatan. Kewajiban mereka seharusnya adalah mencurahkan semuanya untuk Allah dan di jalan Allah dalam rangka mensyukuri nikmat-nikmatNya. Tetapi sayang, setan telah menjadikan mereka mencurahkannya di luar jalan ini. Mereka memang pergi ke medan jihad dan berperang, tetapi tujuan mereka supaya disebut pemberani. Kepada merekalah Allah mengawali pengadilanNya pada hari Kiamat. Lalu Allah memperlihatkan nikmat-nikmatNya yang telah dianugerahkan kepada mereka, seraya bertanya : “Apa yang kamu kerjakan dengan nikat-nikmat itu?” Pada saat itulah Allah membuka rahasia hati mereka seraya berfirman : “Kamu pendusta! Sesungguhnya kamu berperang (berjihad) hanya supaya dikatakan pemberani (pahlawan).” Mereka tidak mampu membantah, karena memang demikianlah kenyataannya. Malaikat pun diperintahkan menarik wajahnya dan melemparkan ke dalam api neraka.

Golongan Kedua : Yaitu kaum yang dimuliakan Allah dengan diberi kesempatan untuk menuntut ilmu dan mengajarkannya kepada manusia. Mereka mampu membaca al Qur`an dan mempelajarinya. Seharusnya, dengan ilmu tersebut mereka berniat karena Allah semata sebagai manifestasi rasa syukur kepadaNya atas limpahan rahmatNya. Tetapi sayang, tujuan yang semestinya karena Allah, telah dipalingkan dan dihiasi oleh setan, sehingga mereka berbuat riya' (pamer) dengan ilmu itu di hadapan manusia, agar mendapat pujian, kedudukan, harta dan jabatan. Mereka tidak menyadari, bahwa Allah selalu melihat dan mengetahui apa yang mereka lakukan. Allah mengetahui rahasia yang tersembunyi di hati mereka. Ternyata, mereka belajar, mengajar dan membaca al Qur`an supaya dikatakan sebagai seorang alim, pintar atau yang semisal itu. Sedangkan yang membaca al Qur`an supaya dikatakan qari' atau qari’ah, orang yang bagus dan indah bacaannya. Maka pada hari Kiamat nanti, tidak ada yang mereka peroleh kecuali dikatakan “pendusta”. Mereka hanya terdiam disertai kehinaan, kerugian dan penuh penyesalan. Kemudian Allah menyuruh malaikat agar menyeret dan mencampakkan mereka ke dalam neraka. Wal 'iyadzu billah.

Golongan Ketiga : Yaitu kaum yang diberi kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Mereka adalah golongan yang mampu, kaya dan berduit. Kewajiban mereka semestinya bersyukur kepada Allah dengan ikhlas karena Allah semata. Tetapi sayang, mereka shadaqah, infaq, memberikan uang dan mendermakan harta supaya menjadi terkenal dan dikatakan dermawan, karim (yang mulia hatinya), supaya dikatakan orang yang khair (baik). Padahal apa yang mereka katakan di hadapan Allah, bahwa mereka berinfaq, bershadaqah karena Allah adalah dusta belaka. Sungguh telah dikatakan yang demikian itu, dan mereka tidak bisa membantah. Allah mengetahui hati dan tujuan mereka. Kemudian mereka diperintahkan untuk diseret atas mukanya dan dicampakkan ke dalam neraka, dan mereka tidak mendapatkan seorang penolong pun selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. [2]

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang orang yang berperang, orang alim dan dermawan serta siksa Allah atas mereka, ialah karena mereka mengerjakan demikian untuk selain Allah. Dan dimasukkan mereka ke dalam neraka menunjukkan betapa haramnya riya' dan keras siksaannya, serta diwajibkannya ikhlas dalam seluruh amal. Allah berfirman :

"Tidaklah mereka diperintahkan melainkan untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus" [al Bayyinah : 5]

Keumuman hadits-hadits tentang keutamaan jihad, sesungguhnya diperuntukkan bagi orang yang melaksanakannya karena Allah dengan ikhlas. Demikian pula pujian terhadap ulama dan orang yang berinfaq di segala sektor kebaikan, semua itu terjadi dengan syarat apabila mereka melakukan yang demikian itu semata-mata karena Allah Ta'ala.[3]

Demikian mengerikan siksa dan ancaman bagi orang yang berbuat riya' dalam melakukan kebaikan. Mereka berbuat dengan tujuan mengharap pujian dan sanjungan dari manusia. Islam lebih banyak memperhatikan faktor niat (pendorong) suatu amal daripada amal itu sendiri, meskipun kedua-duanya mendapat perhatian.

Secara fitrah sudah diketahui, bahwa penipuan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain merupakan perbuatan hina dan dosa yang jelek. Jika penipuan itu dilakukan seorang makhluk terhadap khaliq (pencipta)nya, maka perbuatan itu lebih sangat hina, buruk dan tercela. Perbuatan itu merupakan perbuatan orang yang suka berpura-pura dan berbuat untuk menarik perhatian manusia. Ia memperlihatkan di hadapan mereka seakan-akan dia hanya menghendaki Allah semata. Padahal ia adalah seorang penipu dan pendusta, maka tidak heran jika Allah menghinakannya dengan dimasukkan ke dalam api neraka.

Dalam tulisan ini akan dibahas tentang definisi riya', sebab-sebabnya, macamnya, bahayanya dan beberapa hal yang tidak termasuk riya' serta obat penyakit riya'. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat untuk penulis dan para pembaca sekalian.

DEFINISI RIYA'
Secara lughah (bahasa), riya' الرِّيَاءُ adalah mashdar dari kata : رَاءَى – يُرَاءِى – رِءَاءً وَ رِيَاءًا (رَاءَاهُ ) مُرَاءَاةً

Perkataan :
أَرَاهُ أَنَّهُ مُتَّصِفٌ بِالْخَيْرِ وَ الصَّلاَحِ عَلَى خِلاَفِ مَا هُوَ عَلَيْهِ

Berarti : “Ia memperlihatkan bahwasanya ia orang baik, padahal hatinya tidak demikian. Artinya, apa yang nampak berbeda dengan apa yang sebenarnya ada padanya”.[4]

Sedangkan secara istilah syar'i, para ulama berbeda pendapat dalam memberikan definisi riya'. Tetapi intinya sama, yaitu

أَنْ يَقُوْمَ الْعَبْدُ بِالْعِبَادَةِ الَّتِيْ يَتَقَرَّبُ بِهَا لِلَّهِ لاَ يُرِيْدُ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ بَلْ يُرِيْدُ عَرْضاً دُنْيَوِياًّ

"Seorang melakukan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi ia melakukan bukan karena Allah melainkan karena tujuan dunia".[5]

Al Qurthubi mengatakan :

حَقِيْقَةُ الرِّيَاءِ طَلَبُ مَا فِيْ الدُّنْيَا بِالْعِبَادَةِ ، وَ أَصْلُهُ طَلَبُ الْمَنْزِلَةِ فِيْ قُلُوْبِ النَّاسِ

(Hakikat riya' adalah mencari apa yang ada di dunia dengan ibadah dan pada asalnya adalah mencari posisi tempat di hati manusia).[6]

Jadi riya' adalah melakukan ibadah untuk mencari perhatian manusia sehingga mereka memuji pelakunya dan ia mengharap pengagungan dan pujian serta penghormatan dari orang yang melihatnya.[7]

PERBEDAAN RIYA' DAN SUM'AH
Imam Bukhari di dalam Shahih-nya membuat bab Ar Riya' was Sum'ah dengan membawakan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللهُ بِهِ . وَمَنْ يُرَائِيْ يُرَائِي اللهُ بِهِ

"Barangsiapa memperdengarkan (menyiarkan) amalnya, maka Allah akan menyiarkan aibnya, dan barangsiapa beramal karena riya', maka Allah akan membuka niatnya (di hadapan orang banyak pada hari Kiamat)". [HR Bukhari no. 6499 dan Muslim no. 2987 dari sahabat Jundub bin Abdillah].

Perbedaan riya' dan sum'ah ialah, riya' berarti beramal karena diperlihatkan kepada orang lain. Sedangkan sum'ah ialah, beramal supaya diperdengarkan kepada orang lain. Riya' berkaitan dengan indera mata, sedangkan sum'ah berkaitan dengan indera telinga.[8]

PERBEDAAN ANTARA RIYA' DAN 'UJUB
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) mengatakan : “Seringkali orang menghubungkan antara riya' dan 'ujub. Padahal riya' merupakan perbuatan syirik kepada Allah karena makhluk, sedangkan 'ujub adalah syirik kepada Allah karena nafsu”.[9]

Imam Nawawi rahimahullah (wafat th. 676 H) berkata : “Ketahuilah, bahwa keikhlasan niat terkadang dihalangi oleh penyakit 'ujub. Barangsiapa berlaku 'ujub (mengagumi) amalnya sendiri, maka akan terhapus amalnya. Demikian juga orang yang sombong”.[10]

'Ujub, menurut bahasa berarti kekaguman, kesombongan atau kebanggaan. Yaitu seorang bangga dengan dirinya atau pendapatnya. Orang yang berlaku 'ujub adalah orang yang tertipu dengan dirinya, ibadahnya dan ketaatannya. Ia tidak mewujudkan makna إِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (hanya kepadaMu ya Allah, kami mohon pertolongan). Sedangkan orang yang berlaku riya' tidak mewujudkan maknaإِيَّاكَ نَعْبُدُ (hanya kepada Engkau ya Allah, kami beribadah).

Apabila seseorang sudah mewujudkan makna ِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ إِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ , maka akan hilang darinya penyakit riya' dan 'ujub.[11]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

ثَلاَثٌ مُهْلِكَاتٌ : هَوًى مُتَّبَعٌ ، وَشُحٌّ مُطَاعٌ ، وَ إِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ

"Tiga perkara yang membinasakan, yaitu hawa nafsu yang dituruti, kebakhilan (kikir) yang ditaati dan kebanggaan seseorang terhadap dirinya". [HR Abu Syaikh dan Thabrani dalam Mu'jam Ausath. Lihat Shahih Jami'ush Shaghiir no. 3039 dan Silsilah Ahaadits ash-Shahiihah no. 1802]

SEBAB-SEBAB RIYA'
Sebab-sebab yang menjerumuskan manusia ke lembah riya' ada beberapa hal. Pokok pangkal riya' adalah kecintaan kepada pangkat dan kedudukan. Jika hal ini dirinci, maka dapat dikembalikan kepada tiga sebab pokok, yaitu: Pertama. Senang menikmati pujian dan sanjungan. Kedua. Menghindari atau takut celaan manusia. Ketiga. Tamak (sangat menginginkan) terhadap apa yang ada pada orang lain.

Hal ini dipertegas dengan riwayat di dalam ash Shahihain, dari hadits Abu Musa al-'Asyari Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata :

الرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلْمَغْنَمِ ، وَ الرَّجُلُ يُقاَتِلُ لِيُذْكَرَ ، وَ الرَّجُلُ يُقاَتِلُ لِيُرَى مَكَانُهُ ، فَمَنْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةُ اللهِ أَعْلَى ، فَهُوَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ

“Ada seseorang berperang karena rasa fanatisme, berperang dengan gagah berani dan berperang dengan riya'; manakah dari yang demikian itu berada di jalan Allah?” Beliau menjawab: “Barangsiapa yang berperang dengan tujuan agar kalimat Allah yang paling tinggi, maka itulah fi sabilillah”. [HR Bukhari no. 2810 dan Muslim no. 1904 dan selainnya].

Makna perkataan orang itu “berperang dengan gagah berani”, yaitu agar namanya disebut-sebut dan dipuji. Makna perkataan “berperang dengan fanatisme (golongan)”, yaitu ia tidak mau dikalahkan atau dihina. Makna perkataan “berperang dengan riya'”, yaitu agar kedudukannya diketahui orang lain, dan hal ini merupakan kenikmatan pangkat dan kedudukan di hati manusia.

Boleh jadi seseorang tidak tertarik terhadap pujian, tetapi ia takut terhadap hinaan. Seperti seorang yang penakut di antara para pemberani. Dia berusaha menguatkan hati untuk tidak melarikan diri agar tidak dihina dan dicela. Ada kalanya seseorang memberi fatwa tanpa ilmu karena menghindari celaan supaya tidak dikatakan sebagai orang bodoh. Tiga hal inilah yang menggerakkan riya' dan sebagai penyebabnya.[12]

MACAM-MACAM RIYA'
1. Riya' yang berasal dari badan, seperti memperlihatkan bentuk tubuh yang kurus dan pucat agar tampak telah berusaha sedemikian rupa dalam beribadah dan takut pada akhirat. Atau memperlihatkan rambut yang acak-acakkan (kusut) agar dianggap terlalu sibuk dalam urusan agama sehingga merapikan rambutnya pun tidak sempat., atau dengan memperlihatkan suara yang parau, mata cekung (sayu) dan bibir kering agar dianggap terus-menerus berpuasa. Riya' semacam ini sering dilakukan oleh para ahli ibadah. Adapun orang-orang yang sibuk dengan urusan dunia, maka riya' mereka dengan memperlihatkan badan yang gemuk, penampilan yang bersih, wajah yang ganteng dan rambut yang kelimis.

2. Riya' yang berasal dari pakaian dan gaya, seperti menundukkan kepala ketika berjalan, sengaja membiarkan bekas sujud di wajah, memakai pakaian tebal, mengenakan kain wol, menggulung lengan baju dan memendekkannya serta sengaja berpakaian lusuh (agar dianggap ahli ibadah). Atau dengan mengenakan pakaian tambalan, berwarna biru, meniru orang-orang thariqat shufiyyah padahal batinnya kosong (dari keikhlasan). Atau mengenakan tutup kepala di atas sorban supaya orang melihat adanya perbedaan dengan kebiasaan yang ada.

Orang-orang yang melakukan riya' dalam hal ini, ada beberapa tingkatan. Di antara mereka ada yang yang mengharap kedudukan di kalangan orang yang baik dengan menampakkan kezuhudan dengan pakaian yang lusuh. Jika dia berpakaian sederhana, namun bersih seperti kebiasaan Salafush Shalih, maka ia merasa seperti hewan korban yang siap disembelih karena dia takut akan dikomentari sebagai “biasanya ia menampakkan kezuhudan, tapi rupanya sudah berbalik dari jalan itu”. Sedangkan riya' para pemuja dunia ialah dengan pakaian yang mahal, kendaraan yang bagus dan perabot rumah yang mewah.

3. Riya' dengan perkataan, seperti dalam hal memberi nasihat, peringatan, menghapal kisah-kisah terdahulu dan atsar dengan maksud untuk berdebat atau memperlihatkan kedalaman ilmunya dan perhatiannya terhadap keadaan para salaf. Atau dengan menggerakkan bibir dengan dzikir di hadapan orang banyak, memperlihatkan amarah saat kemungkaran di hadapan orang banyak, membaca al Qur`an dengan suara perlahan dan memperindahnya untuk menunjukkan rasa takut dan kesedihan, atau yang seperti itu. Wallahu a'lam. Sedangkan riya' para pemuja dunia adalah dengan menghapalkan syair-syair atau pepatah dan berpura-pura fasih dalam perkataan.

4. Riya' dengan perbuatan, seperti riya' yang dilakukan orang yang shalat dengan memanjangkan bacaan saat berdiri, memanjangkan ruku' dan sujud atau menampakkan kekhusyuan atau yang lainnya. Begitu pula dalam hal puasa, haji, shadaqah dan lain-lain. Sedangkan riya' para pemuja dunia ialah dengan berjalan penuh lagak dan gaya, angkuh, congkak, menggerak-gerakkan tangan, melangkah perlahan-lahan, menjulurkan ujung pakaian; semuanya dimaksudkan untuk menunjukkan penampilan dirinya.

5. Riya' dengan teman atau orang-orang yang berkunjung kepadanya, seperti seseorang memaksakan dirinya supaya dikunjungi oleh ulama atau ahli ibadah ke rumahnya, agar dikatakan “si fulan telah dikunjungi ulama dan banyak ulama yang sering datang ke rumahnya”. Ada juga orang yang berlaku riya' dengan banyak syaikh atau gurunya, agar orang berkomentar tentang dirinya “dia sudah bertemu dengan sekian banyak syaikh dan menimba ilmu dari mereka”. Dia berbuat seperti itu untuk membanggakan diri. Begitulah yang biasa dilakukan orang-orang yang berlaku riya' untuk mencari ketenaran, kehormatan dan kedudukan di hati manusia.[13]

Kita memohon keselamatan kepada Allah dari semua macam riya' ini. Ya, Allah. Janganlah Engkau sesatkan hati kami setelah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan jauhkanlah diri kami dan amal kami dari riya'. Amin.

CIRI-CIRI DAN TANDA-TANDA RIYA'
Riya' mempunyai ciri dan tanda-tanda sebagaimana kata Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu , bahwa orang yang berlaku riya' memiliki tiga ciri, yaitu : dia menjadi pemalas apabila sendirian, dia menjadi giat jika berada di tengah-tengah orang banyak, dia menambah kegiatan kerjanya jika dipuji dan berkurang jika diejek.[14]

Tanda yang paling jelas ialah merasa senang jika ada orang yang melihat ketaatannya. Andaikan orang tidak melihatnya, dia tidak merasa senang. Dari sini diketahui, bahwa riya' itu tersembunyi di dalam hati, seperti api yang tersembunyi di dalam batu. Jika orang melihatnya, maka menimbulkan kesenangan. Dan kesenangan ini bergerak dengan gerakan yang sangat halus, lalu membangkitkannya untuk menampakkan amalnya. Bahkan ia berusaha agar amalnya itu diketahui, baik secara sindirian atau terang-terangan.[15]

Diriwayatkan bahwa Abu Umamah al Bahili pernah mendatangi seseorang yang sedang bersujud di masjid sambil menangis ketika berdoa. Kemudian Abu Umamah mengatakan kepadanya : “Apakah engkau lakukan seperti ini jika engkau shalat di rumahmu?” (Teguran dimaksudkan untuk menghilangkan sikap riya').[16]

JEBAKAN DAN PERINGATAN
Terkadang, seorang hamba bersungguh-sungguh untuk membersihkan diri dari riya', namun ia terjebak dan tergelincir di dalamnya, sehingga ia meninggalkan amal karena takut riya'.

Jika seorang hamba meninggalkan amal yang baik dengan maksud supaya terhindar dari riya', maka tidak ragu lagi, bahwa sikap ini adalah sikap yang salah dalam menghadapi riya'.

Fudhail bin Iyadh menjelaskan, meninggalkan amal karena manusia adalah riya', sedangkan beramal karena manusia adalah syirik. Ikhlas itu adalah Allah menyelamatkan kita dari keduanya.

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan : “Perkataan Fudhail bahwa orang yang meninggalkan amal karena manusia adalah riya', sebab ia melakukannya karena manusia. Adapun kalau meninggalkan amal karena ingin melakukannya di saat sepi atau sendirian, maka diperbolehkan dan ini sunnah, kecuali dalam perkara yang wajib, seperti shalat wajib lima waktu atau zakat, atau ia seorang alim yang menjadi panutan dalam ibadah, maka menampakkannya adalah afdhal (utama).[17]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,”Barangsiapa melakukan amal rutin yang disyariatkan, seperti shalat Dhuha, qiyamul lail (shalat tahajud), maka hendaklah dia tetap melakukannya dan tidak seyogyanya ia meninggalkan kebiasaan itu hanya karena berada di tengah-tengah manusia. Hanya Allah-lah yang mengetahui rahasia hatinya, bahwa ia melaksanakannya karena Allah dan ia bersungguh-sungguh berusaha agar selamat dari riya' dan dari hal-hal yang merusak keikhlasan,” kemudian beliau membawakan perkataan Fudhail bin Iyadh seperti di atas.

Selanjutnya beliau mengatakan, barangsiapa melarang sesuatu yang disyariatkan hanya berdasarkan anggapan bahwa hal itu adalah riya', maka larangannya itu tertolak berdasarkan beberapa alasan sebagai berikut :

1. Amal yang disyariatkan tidak boleh dilarang hanya karena takut riya'. Bahkan diperintahkan untuk tetap dilakukan dengan ikhlas. Bila kita melihat seseorang yang mengerjakan suatu amal yang disyariatkan, kita harus menetapkan bahwa dia melakukannya (atau membiarkannya), kendatipun kita dapat memastikan ia berbuat dengan riya'. Seperti halnya orang-orang munafik yang Allah berfirman tentang mereka :

"Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Apabila mereka berdiri shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya' (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali". [an Nisaa` : 142].

Mereka (orang-orang munafik) shalat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya membiarkan amal yang mereka tampakkan, meskipun mereka berbuat itu dengan riya' dan tidak melarang perbuatan zhahir mereka. (Artinya, para sahabat tidak melarang mereka shalat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Pen). Hal itu, karena kerusakan meninggalkan syariat yang mesti ditampakkan jauh lebih berbahaya daripada menampakkan amal tersebut dengan riya'. Sebagaimana meninggalkan iman dan shalat lima waktu lebih besar bahayanya, dibanding dengan meninggalkan amal itu dengan riya'.

2. Pengingkaran hanya terjadi pada apa yang diingkari oleh syariat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

…إِنِّيْ لَمْ أُوْمَرْ ، أَنْ أُنَقِّبَ عَلَى قُلُوْبِ النَّاسِ ، وَلاَ أَشُقَّ بُطُوْنَهُمْ…

"Sesungguhnya aku tidak diperintah untuk menyelidiki (memeriksa) hati mereka dan tidak pula untuk membedah perut mereka". [HR Bukhari no. 4351, Muslim no. 1064 (144) dan Ahmad (III/4-5) dari Abu Said al Khudri Radhiyallahu 'anhu].

Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu mengatakan : “Barangsiapa menampakkan kebaikan, kami akan mencintainya meskipun hatinya berbeda dengan itu. Dan orang yang menampakkan kejelekannya, kami akan membencinya meskipun ia mengaku bahwa hatinya baik”.

3. Sesungguhnya membolehkan pengingkaran terhadap hal seperti itu, justru akan membuka peluang kepada ahlus syirk wal fasad (orang yang berbuat syirik dan kerusakan) untuk mengingkari ahlul khair wad diin (orang yang berbuat baik). Apabila mereka melihat orang yang melakukan perkara yang disyariatkan dan disunnahkan, mereka berkata “orang ini telah berbuat riya”. Lalu karena tuduhan ini, orang yang jujur dan ikhlas akan meninggalkan perkara-perkara yang disyariatkan karena takut ejekan, celaan dan tuduhan mereka. Lantas terbengkalailah kebaikan (amal-amal khair) dan tidak terlaksana. Kemudian, hal itu akan menjadi senjata bagi orang-orang yang berbuat syirik untuk tetap dan terus melakukan kegiatan mereka, dan tidak ada seorang pun yang mengingkari. Hal ini merupakan kerusakan yang paling besar.

4. Sesungguhnya hal seperti ini merupakan syi'ar (semboyan) orang yang munafik. Mereka selalu mencela orang yang menampakkan amal yang disyariatkan. Allah berfirman :

"(Orang-orang munafik) yaitu orang -orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi shadaqah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekadar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina Allah. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka adzab yang pedih". [at Taubah : 79]

Insya Allah bersambung ……

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Tafsir Ibnu Katsir (III/120-121), Cet. Maktabah Daarus Salaam.
[2]. Taujihat Nabawiyah 'ala Thariq, karya Dr. Sayyid Muhammad Nuh, Darul Wafa'.
[3]. Syarah Muslim (XIII/50-51).
[4]. Mu’jamul Wasith (I/320).
[5] Al Ikhlas, oleh Dr. Umar Sulaiman al Asyqar, hlm. 94, Cet. Daarun Nafa-is, Th. 1415 H.
[6]. Tafsir al Qurthubi (XX/144), Cet. Daarul Kutub al Ilmiyyah, Th. 1420 H.
[7]. Fathul Bari (XI/336).
[8]. Ibid (XI/336) dan Al Ikhlas, hlm. 95, Dr. Umar Sulaiman al Asyqar.
[9]. Majmu' Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (X/227).
[10]. Syarah Arbain, hlm. 5.
[11]. Al Ikhlas, hlm. 97, Dr. Umar Sulaiman al Asyqar.
[12]. Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 284, Ibnu Qudamah al Maqdisi, tahqiq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid.
[13]. Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 275-278, Ibnu Qudamah al Maqdisi, tahqiq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid; Ar Riya' wa Atsaruhu As Sayi' fil Ummah, hlm. 17-20.
[14]. Al Kabair, Imam adz Dzahabi hlm. 212, tahqiq Abu Khalid Al-Husain bin Muhammad As Sa'idi, Cet. Darul Fikr.
[15]. Mukhtashar Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah al Maqdisi, hlm. 280.
[16]. Al Kabair, Imam adz Dzahabi, hlm. 211.
[17]. Syarah Arbain, Imam Nawawi, hlm. 6.
[18]. Majmu' Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (23/174-175).

sumber : www.almanhaj.or.id

APA HUKUMNYA MENCIUM MUSHAF AL-QUR'AN YANG SERING DILAKUKAN SEBAGIAN KAUM MUSLIMIN ?

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Apa hukumnya mencium mushaf Al-Qur'an yang sering dilakukan oleh sebagian kaum muslimin ?

Jawaban.
Kami yakin perbuatan seperti ini masuk dalam keumuman hadits-hadits tentang bid'ah. Diantaranya hadits yang sangat terkenal.

"Artinya : Hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara (ibadah) yang diada-adakan, sebab semua ibadah yang diada-adakan (yang tidak ada contohnya dari Rasul) adalah bid'ah, dan semua bid'ah adalah sesat" [Shahih Targhib wa Tarhib 1/92/34]

Dalam hadits lain disebutkan.

"Artinya : Dan semua yang sesat tempatnya di neraka" [Shalat Tarawih hal. 75]

Banyak orang yang berpendapat bahwa mencium mushaf adalah merupakan perbuatan yang bertujuan untuk menghormati dan memuliakan Al-Qur'an. Betul ...!, kami sependapat bahwa itu sebagai penghormatan terhadap Al-Qur'an. Tapi yang menjadi masalah : Apakah penghormatan terhadap Al-Qur'an dengan cara seperti itu dibenarkan .?

Seandainya mencium mushaf itu baik dan benar, tentu sudah dilakukan oleh orang yang paling tahu tentang kebaikan dan kebenaran, yaitu Rasulullah ? dan para sahabat, sebagaimana kaidah yang dipegang oleh para ulama salaf.

"Artinya : Seandainya suatu perkara itu baik, niscaya mereka (para sahabat Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam) telah lebih dulu melakukannya"
Itulah patokan kami.

Pandangan berikutnya adalah, "Apakah hukum asal mencium mushaf itu boleh atau dilarang?" Ada sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yang sangat pantas untuk kita renungkan. Dari hadits ini insya Allah kita bisa tahu betapa kaum muslimin hari ini sangat jauh berbeda dengan para pendahulu mereka (salafush shalih) dalam hal memahami agama dan dalam menyikapi perkara-perkara ibadah yang tidak dicontohkan oleh Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Hadits tersebut diriwayatkan oleh 'Abis bin Rabi'ah, dia berkata : "Aku melihat Umar bin Kahthtab Radhiyallahu ;anhu mencium Hajar Aswad dan berkata.

"Artinya : Sungguh aku tahu engkau adalah batu yang tidak bisa memberi mudharat dan tidak bisa memberi manfaat. Kalau bukan karena aku melihat Rasulullah mencium engkau, maka aku tidak akan menciummu" [Shahih Targhib wa Tarhib 1/94/41]

Disebutkan dalam hadits lain bahwa.

"Artinya : Hajar Aswad adalah batu dari surga" [Shahihul Jaami' No. 3174]

Yang jadi masalah ... kenapa Umar Radhiyallahu anhu mencium Hajar Aswad ? Apakah karena Hajar Aswad tersebut berasal dari tempat yang mulia yaitu surga ? Ternyata tidak, Umar mencium batu tersebut bukan karena kemuliaan batu tersebut dan bukan karena menghormatinya tetapi Umar mencium karena dia mengikuti sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam (Lihatlah .... betapa Umar Radhiyallahu 'anhu lebih mendahulukan dalil dengan mencontoh kepada Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam daripada mendahulukan akalnya. Dan demikian sifat dan sikap semua para sahabat, -pent-).

Lalu sekarang ... bolehkan kita mencium mushaf Al-Qur'an dengan alasan untuk menghormati dan memuliakan-Nya sementara tidak ada dalil bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat mencium mushaf ? Kalau cara beragama kita mengikuti para sahabat, tentu kita tidak akan mau mencium mushaf itu karena perbuatan tersebut tidak ada dalilnya (tidak ada contoh dari Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam). Tapi kalau cara beragama kita mengikuti selera dan akal kita serta hawa nafsu, maka kita akan berani melakukan apa saja yang penting masuk akal.

Contoh kedua adalah ketika Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu 'anhuma bersepakat untuk mengumpulkan Al-Qur'an dalam satu mushaf. Lalu mereka berdua menyerahkan tugas ini kepada Zaid bin Tsabit. Bagaimana komentar dan sikap Zaid ? Dia berkata, "Bagaimana kalian akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ?" Begitulah para sahabat semuanya selalu melihat contoh dari Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam semua urusan agama mereka. Sayang sekali semangat seperti ini tidak dimiliki oleh sebagian besar kaum muslimin hari ini.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling berhak dan paling tahu bagaimana cara memuliakan Al-Qur'an. Tapi beliau tak pernah mencium Al-Qur'an. Sebagian orang jahil mengatakan, "Kenapa mencium mushaf tidak boleh dengan alasan tidak ada contoh dari Rasul? Kalau begitu kita tidak boleh naik mobil, naik pesawat, dan lain-lain, karena tidak ada contohnya dari Rasul ...?"

Ketahuilah bahwa bid'ah yang sesat (yang tidak ada contohnya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) hanya ada dalam masalah agama. Adapun masalah dunia, hukum asalnya semuanya mubah (boleh), kecuali yang dilarang oleh Allah dan Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Maka seorang yang naik pesawat dalam rangka menunaikan ibadah haji ke Baitullah adalah boleh, walaupun naik pesawat untuk pergi haji itu belum pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang tidak boleh adalah naik pesawat untuk pergi haji ke Negeri Barat. Ini jelas bid'ah, karena haji itu masalah agama yang harus mencontoh Rasul Shallallahu 'alahi wa sallam di dalam pelaksanaannya, yaitu dilaksanakan di Makkah dan tidak boleh di tempat lain.

Maka perkara ibadah adalah semua perkara yang dilakukan dengan tujuan ber-taqarrub (mendekatkan diri ) kepada Allah dan kita tidak boleh ber-taqarrub kepada Allah kecuali dengan sesuatu yang telah disyariatkan oleh Allah.

Untuk memahami dan menguatkan hadits, "Setiap bid'ah adalah sesat", ada sebuah kaidah yang datang dari para ulama salaf.

"Artinya : Jika bid'ah sudah merajalela, maka sunnah pasti akan mati"

Dengan mata kepala saya sendiri saya melihat dan merasakan kebenaran kaidah tersebut, katika bid'ah-bid'ah sudah banyak dilakukan orang dalam berbagai macam keadaan.

Orang-orang yang berilmu dan mempunyai banyak keutamaan tidak pernah mencium mushaf ketika mereka mengambilnya untuk dibaca, padahal mereka adalah orang-orang yang selalu mengamalkan isi Al-Qur'an. Sementara orang-orang awam yang kerjanya mencium mushaf, hampir semua dari mereka adalah orang-orang yang perilakunya jauh dan menyimpang dari isi Al-Qur'an.

Demikianlah orang-orang yang melaksanakan sunnah, dia akan jauh dari bid'ah. Sebaliknya orang-orang yang melakukan bid'ah, dia pasti akan jauh dari sunnah. Maka tepat sekali kaidah di atas : "Jika bid'ah sudah merajalela, sunnah pasti akan mati".

Ada contoh lain lagi. Di beberapa tempat, banyak orang yang sengaja berdiri ketika mereka mendengar adzan.Padahal di antara mereka ini adalah orang-orang fasik yang selalu berbuat maksiat.

Ketika mereka ditanya : "Kenapa Anda berdiri ?" Jawab mereka : "Untuk mengagungkan Allah". Begitulah cara mereka mengagungkan Allah dengan cara yang salah, kemudian setelah itu mereka tidak pergi ke masjid untuk shalat berjama'ah tetapi malah kembali bermain kartu atau catur, dan mereka merasa telah mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Dari mana ceritanya sampai mereka berbuat demikian? Jawabannya adalah dari sebuah hadits plasu, bahkan hadits yang tidak ada asal-usulnya, yaitu.

"Artinya : Jika kalian mendengar adzan, maka berdirilah" [Adh-Dhaifah No. 711]

Sebetulnya hadits tersebut ada asalnya, tetapi isinya telah diubah oleh sebagian rawi (periwayat) pembohong dan rawi-rawi yang lemah hapalannya. Kata "berdirilah" dalam hadits tersebut sebenarnya aslinya adalah "ucapkanlah".

Jadi yang sebenarnya hadits tersebut berbunya.

"Artinya : Jika kalian mendengar adzan, maka ucapkanlah (seperti lafadz adzan tersebut)" [Shahih Muslim No. 184]

Demikialah, syetan menjadikan bid'ah itu indah dan baik di mata manusia. Dengan melakukan bid'ah-bid'ah tersebut, orang-orang merasa telah menjadi seorang mukmin yang mengagungkan syiar-syiar Allah, dengan cara mencium mushaf atau berdiri ketika mendengar adzan.

Akan tetapi kenyataannya mereka adalah orang-orang yang pengamalannya jauh dari Al-Qur'an. Kebanyakan mereka adalah orang-orang yang meninggalkan shalat. Kalau toh di antara mereka ada yang shalat, mereka masih makan barang haram, makan hasil riba atau memberi nafkah (keluarganya) dari hasil riba, atau menjadi perantara riba, dan perbuatan lain yang berbau maksiat.

Oleh karena itu tidak boleh tidak, kita harus membatasi diri kita dalam ketaatan dan peribadatan kepada Allah hanya dengan sesuatu yang telah disyariatkan oleh Allah. Jangan kita tambah-tambah syariat Allah tersebut, walaupun satu huruf. Sebab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.

"Artinya : Apapun yang Allah perintahkan kepada kalian, semuanya telah aku sampaikan. Dan apapun yang Allah larang, semuanya telah aku sampaikan" [Ash-Shahihah No. 1803]

Coba tanyakan kepada orang-orang yang suka mencium mushaf dan suka berdiri ketika mendengar adzan : "Apakah anda lakukan semua ini dalam rangka beribadah untuk ber-taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah)?" Kalau mereka bilang : "Ya" Maka katakan kepada mereka : Tunjukkan kepada kami dalil dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam!" Kalau mereka tidak bisa menunjukkan dalil, maka katakan bahwa perbuatan itu adalah bid'ah, dan semua bid'ah adalah sesat, dan semua sesat pasti di neraka.

Mungkin diantara kita ada yang mengatakan bahwa hal ini adalah masalah yang sangat ringan dan sepele. Pantaskah masalah sekecil ini dikatakan sesat dan pelakunya akan masuk neraka ?"

Kalimat yang berbau syubhat ini telah dibantah oleh Imam Syatibi : "Sekecil apapun bid'ah itu, dia tetap sesat. Jangan kita melihat bid'ah itu hanya wujud bid'ahnya saja (seperti mencium mushaf, berdiri ketika mendengar adzan, ushollii, adzan untuk mayit, dan seterusnya -pent-), tetapi mari kita lihat, mau dikemanakan perbuatan-perbuatan bid'ah yang menurut kita kecil dan sepele itu?

Ternyata perbuatan ini akan dimassukkan ke dalam sesuatu yang besar, agung, mulia dan sempurna yaitu ajaran Islam yang datangnya dari Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Seolah-olah ajaran Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam itu belum begitu baik dan belum begitu sempurna sehingga masih perlu diperbaiki dan disempurnakan dengan bid'ah-bid'ah tersebut. Dari sini sangat pantas kalau bid'ah itu dinilai sebagai perbuatan sesat.

[Disalin kitab Kaifa Yajibu 'Alaina Annufasirral Qur'anal Karim, edisi Indonesia Tanya Jawab Dalam Memahami Isi Al-Qur'an, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terbitan Pustaka At-Tauhid, penerjemah Abu Abdul Aziz]

BOLEHKAH MEMBAWA MUSHAF KE DALAM KAMAR MANDI

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Bolehkah seseorang membawa mushaf di sakunya ke dalam kamar mandi karena khawatir mushaf itu akan hilang atau kelupaan jika ditaruh di luar?

Jawaban
Seseorang yang menaruh mushaf dalam sakunya kemudian masuk ke kamar mandi, tidak berdosa, karena mushaf tersebut tidak dalam keadaan terbuka, tetapi tertutup dalam saku. Dan ini tidak ada bedanya dengan orang yang masuk ke kamar mandi dan dalam hatinya terdapat seluruh isi Al-Qur’an (hafidzh).

Secara makna hal ini tidak ada bedanya. Bedanya hanya terletak pada penghormatan terhadap Al-Qur’an tersebut. Jika seseorang masuk kamar mandi dengan membawa mushaf dalam sakunya, sedangkan ia tetap meghormati Al-Qur’an dengan cara menutupnya (maka hal ini tidaklah mengapa, -pent), adapun jika mushaf itu nampak, berarti ia tidak menghormati Al-Qur’an. Dan seperti inilah yang dilarang.

[Disalin dari kitab Majmu’ah Fatawa Al-Madinah Al-Munawarah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Penerjemah Taqdir Muhammad Arsyad, Penerbit media Hidayah]

sumber : almanhaj.or.id

Rabu, 07 April 2010

Menghidupkan Usaha Dakwah di Sekolah




Sudah lama usaha dakwah di sekolah di wilayah Batang, terutama halaqah Batang kota dihidupkan. Namun begitu, belum banyak jamaah pelajar terbentuk; yang bisa keluar dari muhallah sekolah.Di era tahun 2004/2005, memang dari mushola SMK 1 BATANG ini pernah keluar satu jamaah ketika masa liburan. Namun setelah adanya hasungan agar pelajar keluar bersama dengan orang di muhalla terdekat di tempat asal mereka; target jamaah pelajar sering tidak terpenuhi.



Dua marbot di musola SMK-ku, Mas Kuntoro dan mas Yusuf


Saya berharap disamping hidupnya beberapa amalan mushola seperti shalat jamaah, kajian Al Quran, tilawah Al-Quran serta hidupnya shalat-shalat sunnah seperti dhuha,dll; dari mushola ini akan kembali terbentuk lagi jamaah-jamaah pelajar yang siap dihantar untuk buat usaha da'wah di kalangan pelajar

Seputar Jamaah Tabligh (2)

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum,
Adakah artikel mengenai Jamaah Tabligh? Saya hanya sekedar ingin mendapatkan pengetahuan mengenai hal tersebut. Mereka agar lebih meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT? Bagaimanakah tentang kitab-kitab rujukan mereka seperti kitab Fadhilah Amal, fadhilah sedekah, dsb? Apakah kitab-kitab tersebut layak kita pergunakan sebagai rujukan untuk beramal? Bagaimanakah amalan mereka yang berdakwah secara door to door menghampiri umat untuk menyadarkan.

Lanjutan Jawaban:

Berikut artikel lanjutan mengenai beberapa kesalahan dakwah dan pemikiran Jamaah Tabligh beserta jawabannya (dengan beberapa perubahan format artikel) masih ditulis oleh Ustadz Abu Ihsan Al Atsari. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa memberi petunjuk kepada jalan yang lurus kepada kita dan mereka…

KHURUJ ALA JAMA’AH TABLIGH (SYUBHAT DAN BANTAHANNYA)

Disusun Oleh: Abu Ihsan Al Atsari

Khuruj, merupakan salah satu metode kerja dakwah yang dikenal dalam lingkungan Jama’ah Tabligh. Metode seperti ini, tentu tidak dikenal dalam dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat Beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengirim sembarang orang untuk tugas dakwah, apalagi mengirim orang-orang yang tidak memiliki ilmu. Tidak pernah terdengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Arab badui yang tinggal di sekitar Madinah menjadi duta dakwah Beliau. Namun Beliau mengutus para sahabat yang terkemuka dalam ilmu dan agama, seperti: Mu’adz bin Jabal, Abu Musa Al Asy’ari, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ta’ala ‘anhum.

Jadi, membahas khuruj ala Jama’ah Tabligh ini, bukan hanya sekadar membahas boleh tidaknya keluar untuk tujuan dakwah. Karena masalahnya tidak sesederhana itu. Mereka melakukan kegiatan tersebut dengan mengatasnamakan dakwah. Padahal, dakwah haruslah sesuai dengan tuntunan Sunnah Nabi. Karena ia termasuk ibadah. Bahkan ibadah yang sangat mulia.
Tidak pernah ditemui dalam riwayat -baik yang dhaif, apalagi yang shahih- yang menyebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas para sahabat untuk khuruj tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari atau satu tahun. Pembatasan hari seperti itu, juga tidak ada dalilnya dalam syari’at. Jadi, khuruj yang dilakukan oleh Jama’ah Tabligh ini, sebenarnya lebih mirip dengan siyahah (pengembaraan) yang biasa dilakukan oleh orang-orang Shufi.

Syaikh Saifur Rahman bin Ahmad Ad Dahlawi berkata, “Berkenaan dengan kerja tabligh berjama’ah, mereka mengatakan, ‘Ia merupakan jihad besar bahkan akbar’. Bahkan mereka membenci kerja dakwah yang tidak sesuai dengan kerja dakwah mereka. Mereka melarang manusia berdakwah kepada agama Allah, berdakwah kepada Al Quran dan As Sunnah dalam halaqah-halaqah khusus mereka. Kecuali dakwah yang sesuai dengan pokok-pokok dasar, ajaran dan manhaj jama’ah mereka. Dan masih dalam koridor hikayat-hikayat, cerita-cerita mimpi dan fadhail yang sejalan dengan aqidah dan khurafat mereka. Mereka sangat berlebih-lebihan dalam masalah khuruj berjama’ah ini, sehingga melewati batas kewajaran yang tidak dapat dijelaskan lewat kata-kata.” (Silakan lilhat buku I’tibariyah Haula Al Jama’ah Tablighiyah, hal. 43).

Hal ini telah dialami sendiri oleh Syaikh Muhammad Nasib Ar Rifa’i, ketika menyampaikan beberapa patah kalimat tentang aqidah di markas Jama’ah Tabligh. Mereka menyerang Beliau. Bahkan mengeluarkan Beliau dan berbuat yang tidak baik terhadapnya. Sebagaimana halnya beberapa perkara yang mereka cantumkan dalam adab-adab khuruj. Yakni tidak membicarakan masalah khilafiyah. Demikian mereka katakan, secara umum, baik masalah fikih maupun masalah aqidah. Hingga masalah-masalah penting yang sudah disepakati dalam aqidah, juga mereka anggap sebagai masalah khilafiyah dan melarang anggota mereka untuk membicarakannya. Wallahul musta’an.

Lalu Beliau melanjutkan lagi, “Salah satu ciri khas jama’ah ini ialah, mereka meyakini, bahwa siapa saja yang keluar bersama mereka dalam kerja dakwah berjama’ah, berarti telah melakukan jihad yang besar, bahkan akbar. Mereka beranggapan, keluar bersama mereka dalam kerja dakwah berjama’ah ini lebih afdhal daripada berperang dengan pedang dan pena, lebih afdhal daripada memerangi musuh Allah dan Rasul-Nya, lebih afdhal daripada memelihara kemurnian Islam dan keutuhan kaum muslimin (Bukti yang menguatkannya ialah pernyataan dari seorang ulama dan para penuntut ilmu pada masa peperangan jihad Afghanistan melawan kaum komunis, bahwa Jama’ah Tabligh mendatangi tempat-tempat mereka untuk mengajak mereka khuruj bersama jama’ah mereka!). Barang siapa melakukannya, berarti ia telah melaksanakan sunah para nabi dan rasul, telah melaksanakan sunah sayyidul anbiyaa’ wal mursalin, Muhammad shallallahu ‘alihi wa sallam. Berarti ia telah keluar seperti halnya sahabat radhiallahu ‘anhum ajma’ain dalam peperangan dan medan jihad.” (Silakan lihat buku I’tibariyah Haula Al Jama’ah Tablighiyah, hal. 51).

JAWABAN TERHADAP SYUBHAT-SYUBHAT MEREKA

Pertama. Argumentasi mereka dengan ayat:

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” (QS. Ali Imran: 110)

Adalah argumentasi yang batil. Karena maksud kata ukhrijat, bukanlah khuruj seperti yang mereka artikan itu.

Kedua, argumentasi mereka dengan ayat-ayat dan hadits-hadits jihad merupakan tahrif (penyimpangan makna). Sebab, yang dimaksud berjihad adalah berperang di jalan Allah melawan musuh-musuh agama.

Ketiga, argumentasi mereka dengan tersebarnya kubur para sahabat di luar jazirah Arab, juga merupakan argumentasi yang menyesatkan. Karena para sahabat keluar dari negeri mereka bersama para pasukan, berperang fi sabilillah untuk memperluas wilayah Islam dan untuk meninggikan kalimat Allah.

Keempat, argumentasi mereka dengan firman Allah:

التَّآئِبُونَ الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ

“Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadah, memuji (Allah), yang berjihad, yang ruku’, yang sujud.” (QS. At Taubah: 112)

Adalah kejahilan terhadap Kitabullah. Sebab yang dimaksud dengan as-saa-ihuun, adalah orang-orang yang berjihad di jalan Allah. Ibnu Katsir berkata, “Ada bukti yang menguatkan, bahwa yang dimaksud dengan siyaahah di sini ialah jihad… bukan maksudnya siyaahah yang dipahami oleh sebagian orang yang beribadah hanya dengan melakukan siyaahah (pengembaraan) di muka bumi.” (Tafsir Al Qur’an Al Adhzim II/407).

Kelima, membatasi khuruj mereka dengan tiga hari, empat puluh hari, tiga bulan atau satu tahun adalah bid’ah yang tidak ada contohnya dalam agama. Mereka berdalil dengan ayat-ayat Al Quran yang tidak ada sangkut- pautnya dengan khuruj mereka. Untuk khuruj tiga hari mereka berdalil dengan ayat:

فَعَقَرُوهَا فَقَالَ تَمَتَّعُوا فِي دَارِكُمْ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ ذَلِكَ وَعْدٌ غَيْرُ مَكْذُوبٍ

Maka berkata Shalih, “Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu adalah janji yang tidak dapat didustakan.” (QS. Hud: 65)

Dan berdalil dengan batas waktu mengqashar shalat, yakni tiga hari. Untuk khuruj empat puluh hari, mereka berdalil ayat:

وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلاَثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

“Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Rabbnya empat puluh malam.” (QS. Al A’raf: 142)

Untuk khuruj empat bulan mereka berdalil dengan ayat:

فَسِيحُوا فِي اْلأَرْضِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ

“Maka berjalanlah kamu (kaum musyrikin) di muka bumi selama empat bulan.” (QS. At Taubah: 2)

Dan dengan ayat:

لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ

“Kepada orang-orang yang meng-ilaa’ istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya).” (QS. Al Baqarah: 226)

Argumentasi seperti itu terlalu dipaksakan dan merupakan tahrif (penyelewengan) terhadap Kitabullah dari maksud yang sebenarnya. Jelas, angka-angka yang disebutkan dalam ayat di atas bukanlah batasan untuk khuruj dalam arti kata dakwah. Bahkan beberapa ayat di atas sebenarnya ditujukan kepada orang-orang kafir dan orang-orang musyrik, seperti dalam surat Hud ayat 65 dan At Taubah ayat 2 di atas.

Dengan pendalilan yang dipaksakan ini mereka akan sangat kerepotan ketika menghadapi ayat,

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحاً إِلَى قَوْمِهِ فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلَّا خَمْسِينَ عَاماً فَأَخَذَهُمُ الطُّوفَانُ وَهُمْ ظَالِمُونَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Ankaabut: 14)

Apakah ada di antara mereka yang sanggup mengerjakan khuruj selama 950 tahun!! Padahal Allah tidak mungkin membebani manusia dengan syariat di luar batas kemampuan manusia. Ini adalah salah satu bukti kesalahan mereka dalam memberikan argumen mengenai dasar syariat khuruj ala Jamaah Tablig -ed.

Keenam. Mereka katakan, khuruj yang mereka lakukan itu menghasilkan sejumlah faidah. Di antaranya banyak orang yang masuk Islam melalui dakwah mereka. Jawaban terhadap alasan mereka ini sebagai berikut:

(1) Kita tidak boleh mencapai satu tujuan dengan segala cara. Sebagaimana tujuannya harus mulia, caranya juga harus benar dan bersih dari bid’ah. Adapun khuruj ala Jama’ah Tabligh ini merupakan bid’ah yang paling buruk dalam dakwah.

(2) Kebanyakan para pelaku maksiat yang bergabung bersama Jama’ah Tabligh, akhirnya mengikuti pola mereka. Padahal keadaan mereka sebelumnya sebenarnya lebih baik. Sebab maksiat lebih ringan kerusakannya daripada bid’ah. Pelaku maksiat masih bisa diharapkan bertaubat. Berbeda halnya dengan para pelaku bid’ah, sulit sekali diharapkan bertaubat. Oleh sebab itu Sufyan Ats Tsauri berkata, “Bid’ah lebih disukai iblis daripada maksiat, karena maksiat masih bisa diharapkan bertaubat darinya, sementara bid’ah sukar diharapkan bertaubat darinya.”

Ketika menyebutkan sifat kaum Sufi, imam Al ‘Izz bin Abdus Salam berkata, “Mereka (kaum Sufi) lebih buruk daripada para perompak dan penyamun. Karena kaum Sufi menghalangi orang-orang dari jalan Allah. Mereka sengaja mengucapkan perkataan-perkataan yang buruk terhadap Allah dan berbuat tidak etis terhadap para Nabi, Rasul, para pengikut Nabi dan Rasul dari kalangan ulama dan orang-orang yang bertakwa. Melarang pengikut mereka dari mendengarkan perkataan para ahli fikih, karena mereka tahu, para ahli fikih tersebut melarang orang untuk mengikuti mereka dan mengikuti manhaj mereka.” (Qawaaidul Ahkam II/178-180).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah membantah kaum ahli bid’ah para pengikut thariqat Rifa’iyah yang mengaku telah berhasil menyelamatkan manusia dari lembah maksiat. Beliau berkata, “Sebagian mereka ada yang berkata, ‘Kami berhasil mengajak manusia bertaubat’. Aku katakan kepada mereka, ‘Dari apa mereka bertaubat?’ Ia berkata, ‘Dari menyamun, mencuri dan sebagainya.’ Aku katakan, ‘Keadaan mereka sebelum kalian ajak bertaubat lebih baik daripada setelah kalian ajak bergabung bersama kalian. Sebab, mereka dahulu orang fasik yang meyakini, bahwa perbuatan mereka itu haram dan mereka masih mengharapkan kasih sayang Allah dan bertaubat kepada-Nya, serta berniat untuk bertaubat. Lalu setelah kalian ajak bertaubat, mereka berubah menjadi orang sesat dan orang yang berbuat syirik, keluar dari syariat Islam, menyukai apa yang dibenci Allah dan membenci apa yang dicintai Allah. Kami tegaskan, bahwa bid’ah yang mereka dan kalian lakukan itu lebih buruk daripada maksiat’.” (Ar Rasaail wal Masaail I/153).

Ketika menyebutkan biografi Mihyar Ad Dailami, berkatalah Al Hafidz Ibnu Katsir, “Dahulu ia penganut agama Majusi, lalu masuk Islam. Sayangnya, ia jatuh dalam dekapan kaum Rafidhah. Ia menggubah syair-syair dalam mazhab Rafidhah yang berisi caci-maki terhadap para sahabat radhiallahu ‘anhum. Hingga Abul Qasim bin Burhan mengatakan, ‘Hai Mihyar, engkau berpindah dari satu sudut neraka kepada sudut lainnya. Engkau dahulu penganut agama Majusi, kemudian engkau masuk Islam dan mencaci-maki sahabat Nabi!’” (Al-Bidayah wa Nihayah XII/41).

Syaikh Hamud At Tuwaijri mengatakan, “Para ahli sejarah sebelum dan sesudah Ibnu Katsir juga banyak yang membawakan kisah tersebut. Tidak ada seorang pun yang mengingkari perkataan Ibnu Burhan terhadap Mihyar ini. Itu menunjukkan, bahwa mereka menyetujui perkataan tersebut. Kisah tersebut mirip dengan keadaan orang-orang yang masuk Islam lewat Jamaah Tabligh, kemudian mereka mengikuti bid’ah, kejahilan dan kerusakan aqidah jama’ah ini…” (Al Qaulul Baligh fit Tahdzir Min Jamaah Tabligh, halaman 225).

Demikianlah jawaban terhadap beberapa argumentasi yang mereka bawakan. Sebenarnya masih banyak lagi alasan-alasan mereka lainnya, namun semua itu tidak jauh berbeda dengan argumentasi di atas tadi. (Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membukakan hati kita semua -ed).

***

Penanya: Abdul Halim Firhad
Dijawab oleh: Abu Umair Muhammad Al Makassari (Alumni Ma’had Ilmi)

Minggu, 21 Maret 2010

DERAJAT HADITS-HADTS TENTANG BACAAN WAKTU BERBUKA PUASA
Written by admin
Friday, 10 February 2006 12:21
Oleh : Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
Dibawah ini akan saya turunkan beberapa hadits tentang dzikir atau do'a di waktu berbuka puasa Kemudian akan saya terangkan satu persatu derajatnya sekalian. Maka, apa-apa yang telah saya lemahkan (secara ilmu hadits) tidak boleh dipakai atau diamalkan lagi, dan mana yang telah saya nyatakan syah (shahih atau hasan) bolehlah saudara-saudara amalkan.

Hadits Pertama
"Dari Ibnu Abbas, ia berkata : Adalah Nabi shollallaahu �alaihi wa sallam apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan : Allahumma Laka Shumna wa ala Rizqika Aftharna, Allahumma Taqabbal Minna Innaka Antas Samiul 'Alim (artinya : Ya Allah ! untuk-Mu aku berpuasa dan atas rizkqi dari-Mu kami berbuka. Ya Allah ! Terimalah amal-amal kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Maha Mengetahui)". [Riwayat : Daruqutni di kitab Sunannya, Ibnu Sunni di kitabnya 'Amal Yaum wa-Lailah No. 473. Thabrani di kitabnya Mu'jamul Kabir]
Sanad hadits ini sangat Lemah/Dloif, Mengapa ?
Pertama :
Ada seorang rawi yang bernama : Abdul Malik bin Harun bin 'Antarah.
Dia ini rawi yang sangat lemah.
[1]. Kata Imam Ahmad bin Hambal : Abdul Malik Dlo'if
[2]. Kata Imam Yahya : Kadzdzab (pendusta)
[3]. Kata Imam Ibnu Hibban : Pemalsu hadits
[4]. Kata Imam Dzahabi : Dia dituduh pemalsu hadits
[5]. Kata Imam Abu Hatim : Matruk (orang yang ditinggalkan riwayatnya)
[6]. Kata Imam Sa'dy : Dajjal, pendusta.
Kedua :
Di sanad hadits ini juga ada bapaknya Abdul Malik yaitu : Harun bin 'Antarah. Dia ini rawi yang diperselisihkan oleh para ulama ahli hadits. Imam Daruquthni telah melemahkannya. Sedangkan Imam Ibnu Hibban telah berkata : "Munkarul hadits (orang yang diingkari haditsnya), sama sekali tidak boleh berhujjah dengannya".
Hadits ini telah dilemahkan oleh Imam Ibnul Qoyyim, Ibnu Hajar, Al-Haitsami dan Al-Albani dan lain-lain
Periksalah kitab-kitab :
[1]. Mizanul I'tidal 2/666
[2]. Majmau Zawaid 3/156 oleh Imam Haitsami
[3]. Zaadul Ma'ad di kitab Shiyam/Puasa oleh Imam Ibnul Qoyyim
[4]. Irwaul Ghalil 4/36-39 oleh Muhaddist Al-Albani.

Hadits Kedua.
"Artinya : Dari Anas, ia berkata : Adalah Nabi shollallaahu �alaihi wa sallam apabila berbuka beliau mengucapkan : Bismillahi, Allahumma Laka Shumtu Wa Alla Rizqika Aftartu (artinya : Dengan nama Allah, Ya Allah karena-Mu aku berbuka puasa dan atas rizqi dari-Mu aku berbuka)". [Riwayat : Thabrani di kitabnya Mu'jam Shagir hal 189 dan Mu'jam Awshath]
Sanad hadits ini Lemah/Dlo'if, Mengapa ?
Pertama :
Di sanad hadist ini ada Ismail bin Amr Al-Bajaly.
Dia seorang rawi yang lemah.
[1]. Imam Dzahabi mengatakan di kitabnya Adl-Dhu'afa : Bukan hanya satu orang saja yang telah melemahkannya.
[2]. Kata Imam Ibnu 'Ady : Ia menceritakan hadits-hadits yang tidak boleh diturut.
[3]. Kata Imam Abu Hatim dan Daruquthni : Lemah !
[4]. Saya berkata Dia inilah yang meriwayatkan hadits lemah bahwa imam tidak boleh adzan (lihat : Mizanul I'tidal 1/239).
Kedua :
Di sanad ini juga ada Dawud bin Az-Zibriqaan.
[1]. Kata Al-Albani : Dia ini lebih jelek dari Ismail bin Amr Al-Bajaly.
[2]. Kata Imam Abu Dawud, Abu Zur'ah dan Ibnu Hajar : Matruk.
[3]. Kata Imam Ibnu 'Ady : Umumnya apa yang ia riwayatkan tidak boleh diturut (lihat Mizanul I'tidal 2/7)
[4]. Saya berkata : Al-Ustadz Abdul Qadir Hassan membawakan riwayat Thabrani ini di kitabnya Risalah Puasa akan tetapi beliau diam tentang derajat hadits ini ?

Hadits Ketiga
"Artinya : Dari Muadz bin Zuhrah, bahwasanya telah sampai kepadanya, sesungguhnya Nabi shollallaahu �alaihi wa sallam, apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan : Allahumma Laka Sumtu ...dst..dst.." [Riwayat : Abu Dawud No. 2358, Baihaqi 4/239, Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Sunniy]
Lafadz dan arti bacaan di hadits ini sama dengan riwayat/hadits yang ke 2 kecuali awalnya tidak pakai Bismillah.
Dan sanad hadits ini mempunyai dua penyakit.
Pertama :
"Mursal, karena Mu'adz bin (Abi) Zur'ah seorang Tabi'in bukan shahabat Nabi shollallaahu �alaihi wa sallam. (hadits Mursal adalah : seorang tabi'in meriwayatkan langsung dari Nabi shollallaahu �alaihi wa sallam, tanpa perantara shahabat).
Kedua :
"Selain itu, Mu'adz bin Abi Zuhrah ini seorang rawi yang Majhul. Tidak ada yang meriwayatkan dari padanya kecuali Hushain bin Abdurrahman. Sedang Ibnu Abi Hatim di kitabnya Jarh wat Ta'dil tidak menerangkan tentang celaan dan pujian baginya".

Hadits Keempat
"Artinya : Dari Ibnu Umar, adalah Rasulullah shollallaahu alaihi wa sallam, apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan : DZAHABAZH ZHOMAA-U WABTALLATIL 'URUUQU WA TSABATAL AJRU INSYA ALLAH (artinya : Telah hilanglah dahaga, telah basahlah kerongkongan/urat-urat, dan telah tetap ganjaran/pahala, Inysa allah). [Hadits HASAN, riwayat : Abu Dawud No. 2357, Nasa'i 1/66. Daruquthni dan ia mengatakan sanad hadits ini HASAN. Hakim 1/422 Baihaqy 4/239]
Al-Albani menyetujui apa yang dikatakan Daruquhni.!
Saya berkata : Rawi-rawi dalam sanad hadits ini semuanya kepercayaan (tsiqah), kecuali Husain bin Waaqid seorang rawi yang tsiqah tapi padanya ada sedikit kelemahan (Tahdzibut-Tahdzib 2/373). Maka tepatlah kalau dikatakan hadits ini HASAN.

KESIMPULAN :
[1]. Hadits yang ke 1,2 dan 3 karena tidak syah (sangat dloif dan dloif) maka tidak dapat dijadikan hujjah/sandaran dan tidak boleh lagi diamalkan.
[2]. Sedangkan hadits yang ke 4 karena riwayatnya telah syah maka bolehlah kita amalkan jika kita suka (karena hukumnya sunnat saja).
[2]. Marilah dalam mengamalkan dan memahami ajaran Islam, kita hanya bersandar pada dalil/sunnah dari hadist2 yang Shahih/Hasan saja.

DAKWAH SALAFIYAH DAN PERSATUAN

Oleh
Ustad Ahmas Faiz Asifudin

Manhaj Salaf, sebagai manhaj Islam itu sendiri merupakan manhaj pemersatu,bukan pemecah-belah. Dakwah Salafiyah adalah dakwah yang mengajak pada persatuan, bukan dakwah yang memecah-belah umat. Persoalannya, umat sekarang sudah terkondisi dengan kotak-kotak hizbiyah, hingga cara pandangnya pun menjadi cara pandang hizbi (bersifat kelompok). Selalu mencurigai orang lain. Benar atau Salah diukur dengan ukuran kelompok, tidak berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Akibatnya, dakwah Salafiyah yang mengajak kepada persatuan serta melepas segala belenggu hizbiyah, dipandang dengan penuh kecurigaan sebagai kotak baru yang menambah jumlah perpecahan umat. Ini disebabkan, kebanyakan umat Islam sudah tidak memiliki pemahaman yang jelas lagi tentang agamanya. Dengan kata lain, umat Islam sudah jauh meninggalkan ajaran agamanya, dan terperangkap masuk ke dalam berbagai kelompok hizbiyah, atau ke dalam pusaran hawa nafsunya, maka ketika kebenaran hadir, dianggap salah.

Ketika para pembela dakwah Salafiyah menyatakan bahwa kelompok-kelompok hizbiyah itu sesat, batil dan bid'ah -maka dianggapnya sebagai caci-makian terhadap sesama muslim. Mereka tidak bisa membedakan, antara peringatan supaya orang tidak terjerumus ke dalam kesesatan atau bid’ah hizbiyah, dengan caci-makian terhadap pribadi muslim. Mereka juga tidak mengetahui atau lupa, bahwa para ulama Ahli Hadist banyak memiliki kitab yang berisi peringatan, agar orang jangan mengambil agama atau mengambil riwayat dari Fulan, Fulan atau Fulan, sebab ia seorang pendusta, atau sebagai ahli bid’ah, atau seorang yang tidak layak diambil perkataannya atau hadistnya. Nah, apakah caci-makian seperti itu tertuju kepada pribadi muslim? Tentu bukan! Sebab maksudnya ialah untukmengingatkan umat dari kepalsuan Fulan, perbuatan bid’ahnya atau kedustaannya. Sebab persoalannya adalah persoalan agama. Supaya agama ini tetap terjaga keutuhannya. Dengan demikian, umat Islampun akan tetap terjaga keutuhan persatuannya. Tidak dikotak-kotak dengan belenggu hizbiyah.

Jika kehadiran Rasulullah dahulu dipandang oleh orang kafir Quraisy sebagai pemecah-belah kesatuan bangsa Quraisy, maka –kurang lebih- demikianlah sekarang kehadiran dakwah Salafiyah di tengah golongan-golongan umat Islam. Padahal ia bukanlah dakwah yang baru. Ia merupakan dakwah Rasulullah, para sahabatnya serta para pengikutnya yang mengikuti sunnah beliau. Ia merupakan dakwah yang mengajak kepada penjernihan ajaran Islam dari segala noda syirik, bid’ah, khurafat dan noda-noda lainnya; kemudian mengajak umat, supaya terbiasa melaksanakan ajaran Islam yang bersih dari segenap kotoran yang menyusup. Supaya umat bisa bersatu kembali, lepas dari kungkungan dan disiplin fanatisme golongan. Dan yang terpenting diantara yang paling penting, yaitu terlepas dari ancaman siksa Allah Ta’ala.

Jika kungkungan dan disiplin golongan masih dipertahankan -begitu juga- jika kebatilan ditoleransi, maka persatuan hakiki umat Islam tidak bakal terwujud. Padahal Allah dan Rasul-Nya telah memerintahkan dengan tegas dalam Al-Qur’an serta hadist-hadist shahih, supaya kaum muslimin bersatu padu dalam Islam.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, dalam risalah beliau, Al Ushul As Sitah, pada Al- Ashlu Ats Tsani mengatakan,” Allah memerintahkan supaya (kaum Muslimin) bersatu dalam agama, dan melarang berpecah-belah di dalamnya. Karena itu, Allah menjelaskan perintah-Nya ini dengan penjelasan memuaskan yang dapat difahami orang awam. Allah melarang kita, jangan sampai menjadi golongan orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih dari umat sebelum kita, sehingga mereka menjadi binasa. Allah menyebutkan, bahwa Dia memerintahkan kaum Muslimin supaya bersepakat dalam agama, dan melarang mereka berpecah-belah pemahamannya dalam masalah agama. Perintah Allah ini menjadi semakin jelas dengan keterangan menakjubkan yang terdapat dalam Sunnah.

Akan tetapi – sayangnya – kemudian persoalan perpecahan faham dalam masalah pokok-pokok agama serta masalah cabang-cabangnya, justeru menjadi ilmu dan menjadi pemahaman yang baik tentang agama. Sebaliknya, orang yang menyuarakan persatuan (persepsi) dalam agama, justeru dianggap sebagai orang zindik atau gila”[1]

Selanjutnya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin memberikan penjelasan dalam syarahnya, tentang dalil-dalil persatuan: baik dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, amalan sahabat maupun amalan para Salafus Shalih. Ringkasan dari beberapa dalil sebagai berikut:

Dalil Al-Qur’an Al Karim, diantaranya ialah:
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya, dan janganlah kamu mati kecuali sebagai orang-orang muslim (berserah diri). Dan berpegang teguhlah kamu dengan tali Allah semuanya, dan janganlah
berpecah-belah Dan ingatlah nikmat Allah yang telah diberikan kepada kamu tatkala dulunya saling bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hati-hati kamu sehingga kamu menjadi bersaudara karena nikmat Allah tersebut. Dan kamu dahulu berada di tepi jurang api neraka,lalu Allah menyelamatkanmu daripadanya. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatNya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk” [Ali-Imran:102-103]

“Artinya : Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih sesudah datang kepada mereka penjelasan-penjelasan yang benar. Mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang pedih”. [Ali-Imran:105]

“Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya, sedangkan mereka bergolongan-golongan, maka tidak ada tanggung jawabmu sedikitpun terhadap mereka. Sesungguhnya perkara mereka hanyalah menjadi urusan Allah, kemudian Allah akan memberitahu kepada mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan”[Al-An’am:159]

Dalil Sunnah, diantaranya, sabda Rasulullah :
“Artinya : Janganlah kalian saling mendengki, saling memuslihati dalam jual beli, saling
membenci, saling membelakangi, dan janganlah sebagian kalian menarik pembeli yang sedang dalam proses pembelian dengan pedagang lain. Jadilah hendaklah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, ia tidak menzhaliminya, tidak merendahkannya dan tidak meremehkannya. Takwa adalah disini -beliau- memberikan isyarat kearah dada tiga kali. “cukuplah seseorang dikatakan jahat, bila ia menghina saudaranya yang muslim. Tiap-tiap muslim terhadap muslim lainnya adalah haram darahnya, hartanya dan kehormatannya.” [HR.Muslim, Kitab Al Birri Wash Shilah, Bab Tahri Zulmi Al Muslim Wa Khazlihi Wa Ihtiqarihi Syarh Nawawi XVI/336-337, Tahqiq Khalil Ma’mun Syiha]

Adapun pengamalan para sahabat, diantaranya bahwa betul-betul terjadi perselisihan pendapat pada zaman sahabat dalam masalah ijtihadiyah. Walaupun demikian tidak terjadi perpecahan, permusuhan dan saling membenci satu dengan lainnya karena ijtihadiyah ini. Misalnya kasus yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, tentang penyerangan ke Bani Quraidzah karena mereka mengingkari perjanjian terhadap Rasulullah pada saat terjadi perang Ahzab. Ketika itu, Rasulullah memerintahkan para sahabatnya untuk tidak shalat Ashar, kecuali setelah sampai di perkampungan Bani Quraidzah. Ternyata ditengah perjalanan, waktu Ashar tiba. Maka sebagian sahabat tetap tidak mau melaksanakan shalat Ashar sampai mereka tiba di Bani Quraidzah. Mereka tetap berpegang kepada perintah Rasulullah. Tetapi sebagian sahabat yang lain,
melaksanakan shalat Ashar di perjalanan. Sebab mereka memahami perintah
Rasulullah tersebut sebagai perintah supaya bersegera menuju Bani Quraidzah,
tidak berarti menunda shalat Ashar. Dan ternyata, kedua pendapat itu dibenarkan oleh Rasulullah. Merekapun tidak saling mencela satu sama lainnya. Sebab persoalannya adalah persoalan ijtihadiyah. (dan ijtihad tersebut dilakukan oleh para tokoh ulama umat, yaitu para sahabat. Masing-masing memahami kedudukan dan ke-ilmuan pihak lain, pen).

Sedangkan pengamalan para Salafush Shalih, ialah bahwa diantara prinsip Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dalam masalah khilafiyah. Yakni, bila masalah khilafiyah itu lahir karena ijtihad yang diperbolehkan dalam agama, maka satu sama lain saling menghargai perselisihan tersebut. Tidak membuatnya saling mendengki, saling memusuhi atau saling membenci. Bahkan mereka menyakini persaudaraan diantara mereka.

Adapun masalah yang tidak boleh diperselisihkan, yaitu segala penyimpangan yang menyelisihi manhaj para sahabat dan tabi’in. Misalnya dalam masalah aqidah. Banyak orang yang tersesat (karena berbeda pemahaman aqidahnya dengan pemahaman para sahabat). Perselisihan dalam masalah aqidah ini -yang sebenarnya tidak diperbolehkan- hanyalah terjadi secara tidak terkendali, setelah perginya generasi-generasi umat terbaik.

Ketika tiga generasi utama umat ini masih ada, penyimpangan masalah aqidah masih dapat dikendalikan. Namun sesudahnya, tersebar luaslah penyimpangan ini. Sehingga terjadilah perselisihan dan perpecahan umat secara luas.

Dengan demikian, barangsiapa yang menyelisihi manhaj para sahabat dan tabi’in,
maka ia menanggung dosanya. Dan perselisihan dalam hal demikian tidak bisa
ditoleransi.

Demikianlah keterangan secara ringkas Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.[2]

Jadi sesungguhnya persatuan merupakan salah satu hal yang prinsip yang diajarkan Islam. Tetapi persatuan kaum muslimin hanya dapat terwujud bila secara lahir-batin, persepsi dan pengalaman mereka sama. Hanya dalam hal-hal yang bersifat ijtihadiyah saja kaum muslimin diberikan keleluasaan untuk tidak sama pendapatnya. Karena kesamaan dalam hal ini tidak mungkin. Dan ketidak-samaan itu sudah terjadi semenjak zaman sahabat. Ketidak-samaan ijtihadiyah tersebut tidak boleh menjadikan umat berpecah-belah. Disamping itu, ijtihad yang dimaksud adalah ijtihadnya para ulama. Yakni, orang-orang yang memiliki kewenangan untuk berijtihad. Bukan ijtihadnya sembarang orang. Dan jika terjadi sembarang orang berijtihad, maka rusaklah agama; kacaulah umat. Na’udzubillah min dzalik.

Intinya, persatuan dan persaudaraan diantara kaum muslimin harus dibangun. Namun harus berdasarkan syarat. Yaitu ikhlas karena Allah, dan dalam koridor ketaatan kepada Allah. Yakni, persaudaraan yang bersih dari noda-noda dan motif-motif duniawi beserta kaitan-kaitannya. Yang menjadi pendorong persaudaraan ini hanyalah keimanan kepada Allah.[3] bukan kesamaan kelompok hizbiyah, kesamaan kepentingan, atau kesamaan-kesamaan lain yang bersifat duniawi, seperti: politik, kedudukan, uang, dll.

Demikianlah uraian yang sangat ringkas. Mudah-mudahan dapat menjadi wacana, bahwa kaum muslimin hanya bisa bersatu, manakala kembali secara benar, dengan pemahaman yang benar kepada agamanya. Meninggalkan cara-cara beragama berdasarkan pendapat-pendapat atau hawa nafsu pribadi atau golongan. Semua itu dengan izin dan taufiq Allah. Wallahu waliyyu at taufiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VII/1424H/2003. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Foote Note
[1]. Syarah Al Ushul As Sittah yang digabung dengan syarah Kasyfi Asy Syubuhat, karya Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin hal.151, Al Ashlu Ats Tsani.
[2]. Penjelasan secara lengkap, silahkan lihat Syarah Al Ushul As Sittah yang digabung dengan syarah Kasyfi Asy Syubuhat, karya Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin hal.151, Al Ashlu Ats Tsani.
[3]. Lihat Minhaj Al muslim, Abu Bakar Jabir Al Jaza’iri, Bab Tsani, Fashl Sabi’,
hal. 101.

Biografi Syaikh Muhammad Nashiruddin Al - Albani Abdullah

Nama beliau adalah Abu abdi rahman muhammad Nashiruddin bin Nuh al-Al Bani. Dilahirkan pada tahun 1333 H di kota Ashqodar ibu kota albani yang lampau. Beliau dibesarkan di tengah keluarga yang tak berpunya, lantaran kecintaan terhadap ilmu dan ahli ilmu.
Ayah albani yaitu Al Haj Nuh adalah lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syari'at di ibukota negara dinasti Utsmaniyah (kini Istambul), yang ketika Raja Ahmad zagho naik tahta di albania dan mengubah sistem pemerintahan menjadi pemerintah sekuler, maka Syeikh Nuh amat mengkhawatirkan dirinya dan diri keluarganya. Akhirnya beliau memutuskan untuk berhijrah ke Syam dalam rangka menyelamatkan agamanya dan karena takut terkena fitnah. Beliau sekeluargapun menuju Damaskus.
Setiba di Damaskus, Syeikh al-Albani kecil mulai aktif mempelajari bahasa arab. Beliau masuk sekolah pada madrasah yang dikelola oleh Jum'iyah al-Is'af al-Khairiyah. Beliau terus belajar di sekolah tersebut tersebut hingga kelas terakhir tingkat Ibtida'iyah. Selanjutnya beliau meneruskan belajarnya langsung kepada para Syeikh. Beliau mempelajari al-Qur'an dari ayahnya sampai selesai, disamping itu mempelajari pula sebagian fiqih madzab Hanafi dari ayahnya.
Syeikh al-Albani juga mempelajari keterampilan memperbaiki jam dari ayahnya sampai mahir betul, sehingga beliau menjadi seorang ahli yang mahsyur. Ketrampilan ini kemudian menjadi salah satu mata pencahariannya.
Pada umur 20 tahun, pemuda al-Albani ini mulai mengkonsentrasi diri pada ilmu hadits lantaran terkesan dengan pembahasan-pembahsan yang ada dalam majalah al-Manar, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Syeikh Muhammad Rasyid Ridha. Kegiatan pertama di bidang ini ialah menyalin sebuah kitab berjudul "al-Mughni'an Hamli al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ishabah min al-Akhbar". Sebuah kitab karya al-Iraqi, berupa takhrij terhadap hadits-hadits yang terdapat pada Ihya' Ulumuddin al-Ghazali. Kegiatan Syeikh al-Albani dalam bidang hadits ini ditentang oleh ayahnya seraya berkomentar. "Sesungguhnya ilmu hadits adalah pekerjaan orang-orang pailit(bangkrut)".
Namun Syeikh al-Albani justru semakin cinta terhadap dunia hadits. Pada perkembangan berikutnya, Syeikh al-Albani tidak memiliki cukup uang untuk membeli kitab-kitab. Karenanya, beliau memanfaatkan Perpustakaan adh-Dhahiriyah di sana (Damaskus). Di samping juga meminjam buku-buku dari beberapa perpustakaan khusus. Begitulah, hadits menjadi kesibukan rutinnya, sampai-sampai beliau menutup kios reparasi jamnya. Beliau lebih betah berlama-lama dalam perpustakaan adh-Dhahiriyah, sehingga setiap harinya mencapai 12 jam. Tidak pernah istirahat mentelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu sholat tiba. Untuk makannya, seringkali hanya sedikit makanan yang dibawanya ke perpustakaan.
Akhirnya kepala kantor perpustakaan memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuk beliau. Bahkan kemudiaan beliau diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, beliau menjadi leluasa dan terbiasa datang sebelum yang lainnya datang. Begitu pula pulangnya ketika orang lain pulang pada waktu dhuhur, beliau justru pulang setelah sholat isya. Hal ini dijalaninya sampai bertahun-tahun.
Pengalaman Penjara
Syeikh al-Albani pernah dipenjara dua kali. Kali pertama selama satu bulan dan kali kedua selama enam bulan. Itu tidak lain karena gigihnya beliau berdakwah kepada sunnah dan memerangi bid'ah sehingga orang-orang yang dengki kepadanya menebarkan fitnah.
Beberapa Tugas yang Pernah Diemban
Syeikh al-Albani Beliau pernah mengajar di Jamiyah Islamiyah (Universitas Islam Madinah) selama tiga tahun, sejak tahun 1381-1383 H, mengajar tentang hadits dan ilmu-ilmu hadits. Setelah itu beliau pindah ke Yordania. Pada tahun 1388 H, Departemen Pendidikan meminta kepada Syeikh al-Albani untuk menjadi ketua jurusan Dirasah Islamiyah pada Fakultas Pasca Sarjana di sebuah Perguruan Tinggi di kerajaan Yordania. Tetapi situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan beliau memenuhi permintaan itu. Pada tahun 1395 H hingga 1398 H beliau kembali ke Madinah untuk bertugas sebagai anggota Majelis Tinggi Jam'iyah Islamiyah di sana. Mandapat penghargaan tertinggi dari kerajaan Saudi Arabia berupa King Faisal Fundation tanggal 14 Dzulkaidah 1419 H.







Beberapa Karya Beliau
Karya-karya beliau amat banyak, diantaranya ada yang sudah dicetak, ada yang masih berupa manuskrip dan ada yang mafqud (hilang), semua berjumlah 218 judul. Beberapa Contoh Karya Beliau adalah :
• Adabaz-Zifat fi As-Sunnah al-Muthahharah
• Al-Ajwibah an-Nafi'ah 'ala as'ilah masjid al-Jami'ah
• Silisilah al-Ahadits ash Shahihah
• Silisilah al-Ahadits adh-Dhariyah wal mandhu'ah
• At-Tawasul wa anwa'uhu
• Ahkam Al-Jana'iz wabida'uha
Di samping itu, beliau juga memiliki kaset ceramah, kaset-kaset bantahan terhadap berbagai pemikiran sesat dan kaset-kaset berisi jawaban-jawaban tentang pelbagai masalah yang bermanfaat.
Selanjutnya Syeikh al-Albani berwasiat agar perpustakaan pribadinya, baik berupa buku-buku yang sudah dicetak, buku-buku foto copyan, manuskrip-manuskrip (yang ditulis oleh beliau sendiri ataupun orang lain) semuanya diserahkan ke perpustakaan Jami'ah tersebut dalam kaitannya dengan dakwah menuju al-Kitab was Sunnah, sesuai dengan manhaj salafush Shalih (sahabat nabi radhiyallahu anhum), pada saat beliau menjadi pengajar disana.
Wafatnya
Beliau wafat pada hari Jum'at malam Sabtu tanggal 21 Jumada Tsaniyah 1420 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Yordania. Rahimallah asy-Syaikh al-Albani rahmatan wasi'ah wa jazahullahu'an al-Islam wal muslimiina khaira wa adkhalahu fi an-Na'im al-Muqim.